Penanganan Narkoba Harus Ada Dana Non Budgeter

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=TGR3D0_NS04[/embedyt]

 

WACANA pembahasan pembubaran Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dilontarkan anggota DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan, Masinton Pasaribu beserta Komisi III DPR RI menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Ancaman tersebut bahkan sempat membuat berang Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN RI) Irjen Pol. Arman Depari. “Silakan saja bubarkan, sekalian saja anggota di dalamnya dibakar dan dikremasi saja,” jelas Arman dalam pernyataannya yang sempat viral di berbagai media.

Tak hanya Arman Depari, reaksi keras juga datang dari pegiat anti narkoba. Ketua Umum Presidium Nasional Forum Organisasi Kemasyarakatan Anti Narkoba (Prenas FOKAN) Jefri T. Tambayong, STh, SH dengan tegas menyatakan bahwa dalam pemberantasan narkoba BNN sudah berdarah-darah.

Kepada bhayangkaratv.com di sela Pelatihan Keterampilan Hukum “Law Firm Jefri Tambayong & Partner’s” di Gedung Lawfirm JT & Partner’s Jakarta Timur, Sabtu (30/11/2019), Praktisi Hukum yang juga Ketua Umum Garda Mencegah dan Mengobati ini mengungkapkan semua pemikirannya? Mulai dari kebijakan regulasi, P4GN, praktek dan modus peredaran narkoba yang dikendalikan dari balik Lapas hingga solusi rehabilitasi dalam penanganan penyalahguna narkoba. Berikut petikan wawancaranya:

 Bagaimana Anda melihat wacana Komisi III tentang pembubaran BNN?

Tentunya terjadi pro dan kontra dan tanggapan beragam. Ada yang mungkin setuju dengan pendapatnya. Mereka menganggap BNN tidak kelihatan kerjanya. Tapi kami pemerhati narkoba melihat BNN justru sudah berdarah darah. Tapi bukan berarti BNN tidak ada kelemahan, mungkin saja ada. Tapi hal ini bukan berarti harus dibubarkan, harus dikuatkan. Karena BNN ini lahir, saya sepakat dengan Deputi Pemberantasan BNN yang mengatakan bahwa BNN lahir dari Undang-Undang 35 Tahun 2009. Jadi tidak serta merta kemauan kelompok, golongan atau organisasi apapun, tapi undang-undang yang melahirkan. Kalau BNN harus dibenahi, dievaluasi, itu saya sepakat. Karena dari 3 pilar yang ada di BNN, Pilar Pemberantasan, Rehabilitasi dan Pemberdayaan Masyarakat, P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) itu yang mana yang mau dievaluasi. Tapi tidak bisa digeneralisir seluruhnya. Dilihat secara komprehensif, sehingga penanganan ini dari hilir ke hulu. Maksudnya, regulasi pemerintah dan grass root (akar rumput) itu harus selaras, sepaham dan sejalan. Kalau tidak bahaya…!!!

 Pengendalian narkotika paling banyak di lapas, bisa jelaskan modus sindikat di sana?

Sebelum bicara modus kita bicarakan akar masalahnya, yakni penjara menjadi 70 – 80% peredaran narkoba dikendalikan dari penjara. Ini “UUD”, bukan Undang-Undang Dasar, “Ujung Ujungnya Duit”. Karena uang yang beredar di narkoba ini tidak sedikit, tidak kurang hampir 100 triliun yang beredar bahkan ada yang bilang bisa 300 triliun. Tapi kalau kita pakai data pemerintah, hampir 100 triliun dari peredaran narkoba. Jadi yang kami namakan dalam bisnis unlimited money. Uang yang tanpa batas ini menjadi suatu daya tarik sehingga orang akhirnya pasang badan, baik itu oknum di lapas maupun orang-orang yang sudah tertangkap. Yang harusnya masuk penjara itu bertobat dan insyaf, di dalam penjara itu dia malah jadi kurir, pengedar, bandar bahkan memproduksi di dalamnya. Kembali ke modus-modusnya, banyak sekali dan ditangkapi. Ada yang dimasukan di makanan, softex, dikirim kasurnya dan segala macam modus. Kenapa ini bisa terjadi? Karena ada penggunaan handphone yang begitu bebas masuk sana, walaupun itu terlarang.

 Artinya ada pembiaran dalam lapas?

Ini pasti ada ulah oknum. Gak mungkin produksi handphone dalam penjara. Jadi beli handphone itu dari luar. Pak Yasona Laoly (Menkumham-red.) dan Ditjenpas mungkin sudah tegas. Kepala Lapas juga tegas, tapi pasukannya ini bagaimana? ini pasti melibatkan oknum. Gak mungkin izin masuk handphone itu dari Kementerian Hukum dan HAM atau Ditjenpas. Karena rata-rata yang ditangkap, hampir setiap hari berita itu bandar besar dikendalikan dari lapas.

 Apa semua terkait kesejahteraan (petugas lapas)?

Seperti saya bilang tadi, “UUD”, jadi uang yang berputar di lapas. Saya punya klien, dia keluar lapas saja tidak mau, karena dia bilang “Puji Tuhan, Alhamdulillah” di dalam penjara diberkati Tuhan. Karena ternyata dia jadi kurir dan bandar narkoba, pasiennya di dalam semua. Jadi sudah seperti mata pencaharian. Itupun bandar kecil. Karena keuntungan dia perbulan itu 20 sampai 30 juta. Dia keluar belum tentu dapat uang sebanyak itu. Saya yakin, sebenarnya para korban narkoba yang ditangkap itu sebenarnya mau tobat, tapi ketika di dalam situ mereka dapat fasilitas, ya akhirnya… Seringkali jadi kendala, misalnya penjara kapasitas 1500 ditampung sudah 5000, ‘kan over kapasitas. Nah yang jaga di situ hanya 25 orang, pakai tiga shift lagi. Sedangkan penjara 24 jam, ‘kan kurang. Jadi cara mengatasinya hanya dua. Pertama, tambahlah petugas petugas dari Ditjenpas untuk rekrutmen orang orang, atau yang kedua gunakan TNI atau Polri (Brimob-red.) yang di barak, ‘kan gak ada perang sekarang. Jadi mereka itu keluar dari barak, dilatih tentang lapas, narkoba, mereka bantu menjaga. Sampai Indonesia ini gak darurat. Indonesia ini ‘kan sudah darurat narkoba. Kalau saya namakan gawat darurat. Kenapa? Ini sudah mengorbankan satu hari 40 sampai 50 bahkan lebih meninggal karena narkoba. Data UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) hampir 200 ribu orang. Jadi kalau 12 – 25 hampir 10% kematian ada di Indonesia.

Terkait alur uang narkoba, ada indikasi masuk ke beberapa kepala daerah, menurut Anda?

Saya tidak mengomentari secara panjang lebar. Itu bisa saja terjadi, tapi saya belum tahu siapa. Kalau Pak Arman Depari dan tim tau lah. Walaupun masih sedikit, mereka masih perlu fakta dan data untuk dilakukan tindakan. Saya selaku Ketua Umum FOKAN, hampir 100 organisasi di dalamnya tidak masuk ke dalam ranah itu. Tapi ada gak yang ketangkep? Ada… bukan tidak ada, ada semuanya. Jadi banyak oknum, ada oknum polisi, TNI, BNN, oknum ormas seperti kami pun ada. Bisa gak ada oknum DPR, pasti ada. Namanya ‘kan oknum. Di Undang-Undang 35 itu ada peran serta masyarakat, di 104, 105 dan 106. Ini peran serta masyarakat, yang melihat hal ini sebenarnya harusnya melapor. Jangan takut, karena dilindungi oleh undang undang. Kalau kita membiarkan ini negara kita hancur. Ini kalau dalam suasana perang, kita sudah lihat pengkhianat gak lapor, kita juga bagian pengkhianat itu. Jadi, dari tokoh agama, masyarakat, polisi, BNN, gak bisa berdiri sendiri. Ini tidak boleh simbolis. Menghilangkan ego struktural bukan hanya lip service, tapi harus dibumikan, harus ada pertemuan-pertemuan. Bukan pertemuan yang hanya habiskan anggaran, tetapi pertemuan yang ada satu kebijakan regulasi yang pasti. Bersama-sama, tokoh-tokoh agamanya, masyarakatnya dikasih duit untuk bikin penyuluhan. Rehabilitasinya jangan bingung cari duit, kasih rehab gratis. Lalu petugas counselornya dikasih gaji di atas UMR, dan bikin iklan semua stasiun televisi dibayarin oleh pemerintah. Contoh, satu jam sekali muncul iklan anti narkoba dan bahayanya. Itu secara massif dan negara keluarkan. Jadi saya sarankan harus ada dana non budgeter. ***